Oleh: Hendri Efendi
Pariwisata bukan hanya soal datang dan pergi, tapi tentang bagaimana kita merawat jati diri.
Di tengah gegap gempita pembangunan pariwisata nasional, nama Jemaja mungkin belum sefamiliar Bali atau Labuan Bajo. Tapi bagi siapa pun yang pernah menginjakkan kaki di pantai Padang Melang dengan garis pantainya yang membentang 8 kilometer akan mengerti bahwa Jemaja bukan sekadar tempat. Ia adalah pesan bahwa Indonesia menyimpan surga di balik diamnya daerah.
Namun pertanyaan pentingnya adalah apakah pembangunan wisata di Jemaja sudah berpijak pada akar yang benar? Apakah ia berjalan searah dengan nilai-nilai yang selama ini dijunjung tinggi bangsa Indonesia?
Di sinilah Pancasila seharusnya menjadi cahaya penuntun. Pembangunan pariwisata yang tidak berlandaskan Pancasila ibarat kapal yang kehilangan kompas berlayar jauh, tapi tak tahu ke mana tujuannya.
A. Membangun Tanpa Meninggalkan Nilai
Ketika kita bicara soal Pancasila, kita bicara tentang nilai-nilai yang sangat relevan untuk pembangunan yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.
Dalam konteks Jemaja, nilai-nilai ini tidak boleh hanya berhenti di dinding kantor-kantor pemerintah. Ia harus hadir dalam setiap keputusan dari bagaimana kawasan wisata dikelola, siapa yang terlibat, hingga bagaimana budaya lokal seperti kesenian Gubang dilestarikan.
Padang Melang bukan hanya tentang panorama. Ia adalah denyut hidup masyarakat pesisir yang harus diberdayakan. Begitu juga Gubang tarian mistis yang dulu sakral, kini nyaris terlupakan. Jika pembangunan datang tanpa keberpihakan pada budaya, maka Jemaja akan kehilangan ruhnya.