Oleh : Nurjanah (Ketua Umum KOHATI Cabang Tanjungpinang-Bintan)
Malam itu, seorang siswi pulang dari kegiatan belajar tambahan. Di jalan sempit menuju rumahnya, ia menjadi korban pelecehan oleh orang yang dikenalnya. Ia terdiam dalam ketakutan, merasa malu dan trauma.
Butuh waktu berminggu-minggu untuk berani bicara. Namun ketika ia bersuara, masyarakat justru mempertanyakan: “Kenapa dia pulang malam?” “Kenapa dia tidak berteriak?”
Ini bukan kisah yang berdiri sendiri. Di banyak tempat, perempuan baik pelajar, mahasiswa, pekerja, hingga ibu rumah tangga menghadapi kekerasan seksual bahkan di ruang-ruang yang seharusnya aman.
Tidak sedikit yang justru dipersalahkan, didiskreditkan, bahkan dibungkam ketika mencoba mencari keadilan.
Kekerasan seksual terhadap perempuan bukan hanya terjadi, tapi juga dibiarkan hidup oleh budaya yang permisif dan sistem hukum yang masih belum cukup berpihak pada korban.
Data Tak Pernah Berdusta: Kekerasan Seksual Kian Menggila. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024, tercatat bahwa kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan mencapai 330.097 kasus naik 14,17% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, lebih dari 60 ribu kasus merupakan kekerasan seksual yang tercatat selama 22 tahun terakhir.
24.480 kasus terjadi di ranah personal.
36.446 kasus terjadi di ranah publik.
Namun, ini baru permukaan. Banyak kasus tidak dilaporkan karena korban merasa takut, malu, atau tidak percaya pada sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka.
Realitas yang Dihadapi Korban: Diadili, Bukan Dilindungi