Salah seorang warga dengan getir menyampaikan bahwa penutupan jalan itu telah merusak ritme kerjanya. Dan ia bukan satu-satunya. Di balik tiap motor yang terpaksa memutar, ada cerita tentang keterlambatan, ongkos membengkak, dan lelah yang tak terlihat oleh pengambil kebijakan.
Aksi ini memang spontan, tapi bukan tanpa makna. Ia adalah potret perlawanan kecil yang mengusik kesewenang-wenangan kebijakan yang minim empati. Ia adalah alarm bahwa rakyat mulai muak. Bahwa kesabaran punya batas. Bahwa hujan sekalipun tak mampu membasuh kekecewaan yang menumpuk.
Kini bola panas ada di tangan pemerintah. Akan tetap diam di balik meja rapat? Atau mulai mendengar sebelum kepercayaan benar-benar ambruk? Komunikasi bukan hanya soal memberi tahu, tapi tentang melibatkan. Tentang menghargai suara-suara kecil yang tiap hari merasakan dampak dari tiap keputusan.
Peristiwa di Simpang Kota Piring adalah cermin bahwa masyarakat bukan boneka yang bisa dikendalikan seenaknya. Bahwa mereka bisa, dan akan, bergerak ketika haknya dikebiri. Dan jika pemerintah masih abai, bukan tidak mungkin gelombang seperti ini akan membesar.
Simpang Kota Piring telah membuka mata: warga Tanjungpinang tidak lagi diam.

















