Konsep restoratif justice diterapkan dalam kasus-kasus tertentu yang memenuhi
syarat, seperti perkara ringan, tidak berulang, dan tidak menimbulkan dampak luas. Sebagai contoh dalam beberapa kasus, petani miskin yang mencuri hasil kebun untuk kebutuhan keluarga diberikan solusi mediasi antara pelaku dan korban.
Pelaku diwajibkan mengganti kerugian, dan kasus dihentikan demi tercapainya perdamaian.Contoh lain penerapan konsep restorative justice yaitu pada kasus tindak pidana ringan oleh Anak. Anak yang terlibat tindak pidana ringan, seperti perkelahian atau pencurian kecil, diarahkan untuk mediasi dengan korban dan diberi pembinaan tanpa
harus masuk penjara.
Pendekatan ini mengurangi beban lembaga pemasyarakatan dalam mengurangi overkapasitas, memulihkan hubungan sosial, dan sekaligus memberikan rasa keadilan yang lebih humanis bagi masyarakat. Langkah ini selaras dengan teori hukum progresif yang bertujuan menciptakan sistem peradilan yang lebih inklusif dan berorientasi pada solusi.
Prof. Satjipto Rahardjo, tokoh hukum progresif di Indonesia, mendasari pendekatan hukum pada prinsip:
1) Hukum untuk Manusia, Bukan Sebaliknya
Hukum tidak boleh menjadi alat yang kaku, tetapi harus melayani keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, restoratif justice dianggap lebih
humanis dibanding pendekatan hukum retributif.
2) Pentingnya Kearifan Lokal Dalam masyarakat Indonesia yang kaya dengan tradisi musyawarah dan gotongroyong, pendekatan restoratif justice dianggap lebih relevan karena mengedepankan penyelesaian konflik melalui dialog dan kesepakatan bersama, Menurut Satjipto Rahardjo, keadilan bukan hanya soal kepatuhan terhadap norma hukum tertulis, tetapi juga keadilan substantif yang dirasakan masyarakat. Dengan demikian, penerapan restoratif justice dalam berbagai konteks mampu mencerminkan keadilan yang hidup (living law) di tengah masyarakat.

















