“Tidak ditemukan aktivitas tambang ilegal. Kami hanya menemukan bekas-bekasnya,” ujar IPDA Ady Satrio dari Unit Tipiter Satreskrim Polres Bintan.
Namun pertanyaannya, bagaimana mungkin aktivitas sebesar itu bisa menghilang tanpa jejak hanya dalam hitungan hari? Warga setempat menyebut operasi penertiban seperti ini datang “terlambat dengan sengaja”.
“Biasanya, mereka (penambang) sudah dapat bocoran. Begitu polisi datang, lokasi sudah kosong,” ungkap seorang tokoh masyarakat setempat.
Lemahnya Penegakan Hukum, atau Ada yang Menutup Mata
Aktivis lingkungan Hermansyah menilai penegakan hukum di Bintan cenderung “lunak dan membingungkan”.
“Sudah puluhan lubang besar menghantam tanah Bintan. Tapi mengapa tak satupun pelaku besar yang ditangkap? Ada yang salah di sini,” tegasnya.
Dugaan keterlibatan oknum aparat atau adanya “main mata” dengan pengusaha tambang ilegal terus mencuat, tapi tak pernah benar-benar ditindaklanjuti.
Pemerintah daerah mengaku telah berupaya menindak. Namun dari laporan investigasi kami, kerusakan justru semakin meluas. Reklamasi lahan nyaris tak tersentuh. Program alternatif ekonomi bagi warga hanya menjadi bahan pidato, bukan kenyataan.
Hingga kini, tidak ada kepastian siapa yang akan memulihkan ribuan hektar lahan rusak itu. Tidak ada juga jaminan bahwa aktivitas tambang liar tidak akan kembali esok hari.
Jika tidak ada tindakan nyata dan tegas, Bintan bukan lagi surga wisata. Ia akan tercatat dalam sejarah sebagai contoh kegagalan pengelolaan sumber daya alam: tempat di mana kekayaan bumi dikeruk tanpa ampun, sementara rakyatnya dibiarkan menggali lubang—baik untuk pasir, maupun untuk masa depan mereka sendiri.

















