Kasus Hasan: Ketika Hukum Ditekan, Keadilan Dikhianati

Opini922 Dilihat

Ironisnya, saat semua fakta sudah terang benderang, aparat justru mulai mencari-cari celah untuk “mengamankan” Hasan. Padahal, gelar perkara telah dilakukan sejak 2022, saksi-saksi sudah diperiksa, dan berkas sempat dinyatakan lengkap dengan sedikit petunjuk tambahan dari kejaksaan.

Restorative Justice: Dalih Palsu untuk Loloskan Tersangka

banner 336x170

Kini, jalan licin menuju SP3 sedang disiapkan. Alasannya? Ada surat perdamaian antara Hasan dan pihak perusahaan. Tapi mari kita bongkar kebohongan ini.

Pertama, restorative justice (RJ) tidak berlaku untuk kasus berat seperti ini. Sesuai pedoman Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI, RJ hanya bisa diterapkan untuk tindak pidana ringan, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun dan kerugian di bawah Rp2,5 juta. Kasus Hasan, jelas, memiliki ancaman pidana 8 tahun. Jadi penerapan RJ dalam kasus ini adalah penyimpangan hukum, bahkan bisa disebut bentuk intervensi terhadap proses pidana.

Kedua, pemalsuan dokumen negara adalah delik umum, bukan delik aduan. Artinya, meskipun ada perdamaian antara pelapor dan pelaku, perkara tetap wajib dilanjutkan. Perdamaian tidak menghapus tindak pidana yang telah terjadi. Apalagi jika kejahatan itu melibatkan penyalahgunaan jabatan dan menimbulkan kerugian hukum bagi negara maupun masyarakat luas.

Ketiga, RJ yang didorong dalam kasus ini justru menciptakan preseden buruk. Bagaimana mungkin pejabat publik yang memalsukan surat, menjual lahan bermasalah, dan mendapat keuntungan pribadi, malah dicarikan jalan pintas menuju kebebasan? Apakah ini bentuk “solidaritas elit” untuk menyelamatkan satu sama lain?


banner 500x204
Baca Juga :   Pancasila di Jemaja: Ketika Pariwisata Harus Kembali ke Akar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *