Salah satu teori yang sering dikaitkan dengan politik balas jasa adalah teori klientelisme. Klientelisme adalah hubungan antara patron (pemimpin) dan klien (pendukung) di mana patron menawarkan perlindungan, sumber daya, atau keuntungan tertentu kepada klien sebagai imbalan atas dukungan politik atau jasa. Dalam konteks politik, patron sering kali adalah politikus atau partai yang berkuasa, sementara klien adalah individu atau kelompok yang memberikan dukungan selama proses kampanye.
Hubungan klientelisme bersifat timbal balik, di mana kedua pihak saling mendapatkan manfaat. Namun, sistem ini sering kali dianggap koruptif, karena cenderung mengutamakan hubungan personal dibandingkan meritokrasi. Dalam sistem ini, individu atau kelompok yang tidak memiliki hubungan dekat dengan penguasa seringkali terpinggirkan, meskipun memiliki kemampuan yang lebih baik.
2. Teori Elitisme Politik (Political Elite Theory)
Teori elitisme politik berpendapat bahwa kekuasaan politik cenderung terpusat di tangan segelintir elit. Elit-elit ini tidak hanya memiliki akses ke sumber daya politik, tetapi juga ekonomi. Dalam konteks politik balas jasa, elit ini menggunakan kekuasaan mereka untuk menguntungkan pendukung setia mereka dan menjaga jaringan dukungan tersebut agar tetap kuat. Dengan demikian, politik balas jasa sering kali menjadi mekanisme bagi elit untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
3. Teori Transaksional (Transactional Theory)
Dalam teori transaksional, politik dianggap sebagai serangkaian transaksi antara individu atau kelompok yang mencari keuntungan masing-masing. Setiap dukungan yang diberikan, baik berupa suara dalam pemilu atau bantuan finansial, dipandang sebagai investasi yang nantinya harus menghasilkan imbalan konkret. Dalam politik balas jasa, hubungan antara politikus dan pendukung diibaratkan sebagai sebuah kontrak tak tertulis di mana dukungan politik harus dibalas dengan keuntungan tertentu.