Selain itu, konflik horizontal di masyarakat juga sering kali dipicu oleh propaganda. Penggunaan isu-isu sensitif seperti agama, ras, dan etnis sering dimanfaatkan dalam Pilkada untuk memecah suara pemilih. Jika dibiarkan, ini dapat berujung pada ketegangan sosial yang sulit dipulihkan, bahkan setelah Pilkada selesai. Dalam jangka panjang, propaganda yang memecah belah dapat menghancurkan kohesi sosial, yang pada akhirnya merusak stabilitas daerah dan menghambat pembangunan.
Peran Media dalam Mengatasi Propaganda
Dalam situasi seperti ini, media massa memegang peranan penting untuk menangkal bahaya propaganda. Media yang berintegritas seharusnya menjadi benteng terakhir untuk melawan informasi palsu dengan menyediakan berita yang akurat, berimbang, dan berbasis fakta. Sayangnya, di era digital saat ini, media sosial sering kali menjadi lahan subur bagi penyebaran propaganda, karena informasi yang beredar di platform tersebut sulit diverifikasi dan diatur. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih cerdas dalam menyaring informasi, dan tidak mudah terprovokasi oleh kabar yang tidak jelas sumbernya.
Selain media, peran masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Masyarakat harus lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima, terutama dari media sosial yang sering kali menjadi alat propaganda politik. Penting untuk mengecek kebenaran informasi melalui sumber-sumber yang terpercaya, dan tidak langsung menyebarkan berita yang belum terverifikasi.
Regulasi dan Upaya Pemerintah
Untuk menanggulangi bahaya propaganda, pemerintah melalui lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu telah berupaya untuk memperketat pengawasan terhadap kampanye selama Pilkada. Aturan kampanye yang melarang penyebaran hoaks dan ujaran kebencian diterapkan dengan tegas. Bahkan, pihak keamanan seperti Polri telah dibekali kemampuan khusus untuk mendeteksi propaganda di media sosial melalui satuan-satuan siber yang aktif memantau aktivitas daring selama masa kampanye.